Sastra Digital Sebagai Gerakan Literasi bagi Khalayak
Esai Sastra: oleh Ihsan Subhan
Maraknya karya
sastra yang bertebaran di media sosial, telah memunculkan media baru yang lebih
efisien dalam menerbitkan tulisan-tulisan kita yang ingin diperlihatkan atau
dibaca orang banyak. Sebagai contoh, media sosial yang sering kita pakai, ialah
facebook. Semua orang terhubung di facebook, dan kini lebih popular lagi ialah
Instagram atau disingkat IG. Teks-teks sastra, seperti puisi, pantun, cerpen,
bahkan novel banyak dipublish dalam bentuk teks bergambar atau juga tertulis
tanpa gambar.
Hal ini sebenarnya
tidak akan mengganggu perkembangan sastra murni yang sering kita temukan setiap
seminggu sekali di Koran-koran harian. Sastra digital dan sastra cetak
sebenarnya ada persaingan sengit diantara itu. Bagaimana tulisan seseorang
lebih cepat berterima di masyarakat. Secara cultural, masyarakat kita cenderung
masih menganggap bahwa sastra masih agak kaku untuk digauli. Padahal secara
lisan, sastra sudah muncul dan teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
melalui cerita-cerita secara verbal yang disampaikan oleh orang tua kita, atau
juga petuah-petuah yang sering diucapkan oleh guru-guru kita. Terkadang
masyarakat masih memandang sastra secara sempit. Sastra yang dikenal hanya
puisi dan baca puisi dalam setiap lomba di hari-hari besar nasional.
Banyak penulis,
yang memiliki pengalaman bersastranya hanya mengandalkan media sosial, dan
akhirnya mereka sukses juga membuat buku sastra dalam bentuk cetak. Kemungkinan
dalam menulis, mereka tidak ingin mempersulit diri dalam berkarya atau
menumpahkan segala apa yang ingin mereka tulis. Di Koran atau majalah cetak,
biasanya penulis harus menunggu lama bahkan sampai tidak diterbitkan, banyak
factor juga untuk alasan yang satu ini. Bisa saja redakturnya tidak menyukai
karya mereka. Atau juga banyak yang mengirim, akhirnya dari banyaknya yang
mengirim karya, harus dikurasi sesuai ketentuan-ketentuan secara teoritis dan
juga selera redakturnya itu sendiri.
Akhirnya sebagai
alternative, mereka memilih untuk memunculkan karya mereka sendiri dengan
menerbitkannya di media sosial. Banyak juga yang menerbitkannya di blog pribadi
bahkan website personal. Dengan demikian. Para penulis merasa lega, merasa
puas, karena tulisannya minimal warganet ada yang membaca.
Tidak hanya
dalam soal menulis. Soal membaca atau literaturnya mereka selalu mengandalkan
ebook atau bacaan yang ada di mesin pencari google. Biasa selalu ada buku-buku
elektronik di laman-laman sastra. Sehingga secara intelektualitasnya pun, bisa
terisi dan teruji. Sebenarnya yang membedakannya adalah media. Jika sastra
digital hadir di internet, tetapi sastra cetak, melalui media cetak, seperti
Koran, majalah, dan buku.
Apapun
kemasannya, yang harus kita tekankan adalah. Bagaimana sastra bisa lebih
diperhatikan oleh semua kalangan. Dan melalui karya-karya sastra, bagaimana
kehidupan kita terisi dengan baik dan estetis. Kembali kepada teori Teeuw, kata
sastra mendapat akhiran ‘tra’ yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat
atau sarana. Sehingga, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau
pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah
kata pustaka yang secara luas berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Oleh karena itu, jika hari ini ada istilah pergerakan sastra digital. Menurut penulis, justru ini adalah kesempatan kita dalam menerbitkan karya sastra kita secara digitalis. Akan tetapi tidak pula mengenyampingkan membaca dalam bentuk cetak. Selama sastra cetak masih bisa kita jamah dengan mudah. (Ihsan Subhan)
*Esai di atas merupakan tulisan esai oleh Ihsan Subhan yang pernah dimuat di media cetak koran Hrian Waktu (2017)
foto: ilustrasi sastra digital via oerban.com
0 Response to "Sastra Digital Sebagai Gerakan Literasi bagi Khalayak"
Posting Komentar
tulis komentar anda yang paling keren di sini